Desember 07, 2010

That Should Be Me IV

Pukul lima sore, aku baru saja bangun dari tidurku, aku merasa sangat kelelahan sewaktu pulang dari rumah Martha. Musik, aku rasa itu yang kubutuhkan sekarang. Kuraih ponselku yang berada dimeja disamping tempat tidurku. Tear drops on my guitar dari Taylor Swift serasa menyejukkan hatiku begitu aku mendengarnya. Tiba-tiba aku tak kuasa membendung airmataku, berjatuhan seakan tanpa diperintah. Aku menangis, teringat Alfred, kekasihku yang dulu begitu kusayangi, namun pergi meninggalkanku dan lebih memilih untuk bersama Yessica. Tapi buat apalagi aku memikirkannya, aku punya masa depan yang sangat cerah bila tanpa Alfred, aku tertawa dalam hati memikirkan hal itu.

November 28, 2010

That Should Be Me III

“Baiklah.” Martha meraih gagang pintu lemari esnya, kemudian aku lihat dia mengeluarkan kentang, bawang bombay, udang, dan daun yang kubenci seumur hidupku yang bahkan namanya aku tak tahu. Martha membawa semua bahan itu kedapur utama, dan melambaikan tangan pertanda aku harus berbaur dengannya. Aku pergi mengambil pisau dapur dan meraih kentang yang ada disamping Martha. Semua bahan kami olah, kemudian masakan lezat itu siap kami santap. Kami mebawa peralatan makan dan sup tadi kemeja makan, dan menyantapnya. Sup ini lezat sampai-sampai aku tersedak, untung Martha sudah menyiapkan air putih disampingku. Setelah selesai makan, aku menemani Martha membereskan semuanya.

September 15, 2010

That Should Be Me (Seharusnya Aku) part II

Aku mengikuti Martha sampai ketempat parkir, lalu ikut masuk kedalam mobil-nya. Tiba-tiba saja aku melihat bayangan Archie dikaca spion mobil itu. Archie menyesu-aikan kecepatannya dengan kecepatan Martha. “Kenapa Archie mengikutimu? Aha! Dia mengikutimu ya, sebagai kekasih baru? “ ejekku. Martha tersenyum kecil. “Dia mengiku-tiku karena aku membawamu bodoh”. Aku bingung, “apa maksudmu?”. Martha masih ‘hanya’ tersenyum, “kau akan tahu nanti”.
***

September 10, 2010

That Should Be Me (Seharusnya Aku)

Dingin terasa menyengat tubuh ini. Akupun termenung dihadapan jendela yang berada diruang yang tak pantas kusebut kamar. Pantas saja sebenarnya untuk orang-orang yang tak seheboh diriku. Kuakui aku ini orangnya gak berlebihan, hanya sedikit. Dengan tempat tidur sekeras kayu, dan bantal yang akan membuatmu tak leluasa memutar leher pada pagi harinya, serta dinding yang akan ikut menangis saat hujan turun, apakah ini masih kau anggap kamar? Pada akhirnya kau akan sependapat denganku.
Ribuan titik air ini masih saja ingin membasahi bumi yang sudah kedinginan selama enam jam ini. Bagiku masa bodoh kapan hujan ini berakhir, karena menurutku semua ini sudah takdir.